Diskusi Publik dan Monoplay A Doll’s House : Setara Sebagai Manusia


Oleh: Dendi Madiya

Dengan hanya berkostum putih dan set panggung berupa sebuah sofa, Juni Dahr memainkan tokoh Nora dari adegan akhir lakon A Doll’s House-Henrik Ibsen. Inilah bagian dimana Nora terbangun dari kondisi penjara domestik rumah tangga lalu menemukan diri sejajar dengan suaminya. Terlebih lagi Nora merasa mendapatkan kembali kemanusiaan yang utuh, kepribadiannya sebagai sesuatu yang harus eksis. “Baru sekarang aku duduk setara denganmu, sebagai manusia,” kata Nora.

Pertunjukan dari aktris film juga teater asal Norwegia itu menjadi pembuka acara Diskusi Publik dan Monoplay A Doll’s House dengan tajuk IBSEN : SASTRA, MASYARAKAT DAN PEREMPUAN yang diselenggarakan oleh Institut Ungu, 27 November 2011 di Galeri Nasional, Jakarta, sebagai kegiatan penyambut pentas Rumah Boneka. 

Iswadi Pratama (penulis naskah, sutradara Teater Satu Lampung) menilai permainan akting Juni seperti pisau yang menghantam penonton. Rasa dari kata-kata yang diucapkan Juni begitu tajam, artikulatif, sehingga sampai ke batin penonton. “Aktor memang harus masuk ke lapisan dalam,” tutur Iswadi yang mencoba mendeskripsikan apa yang mesti dikerjakan pemain saat melakonkan naskah-naskah Ibsen. Drama-drama Ibsen menuntut intensitas keaktoran.

“Belum ada yang mampu memainkan Nora,” ujar Arthur S. Nalan (penulis naskah, dosen STSI Bandung) ketika menguraikan sejauh pengamatannya terhadap pertunjukan-pertunjukan realis lokal. “Dan Juni sudah bermain secara membatin (inneraction), sementara banyak pemain kita masih cellebral,” lanjut Arthur. Peran wajib ditaklukkan olek aktor. Realisme adalah teater ilusi yang mempunyai target untuk membuat penonton yakin terhadap peristiwa-peristiwa di atas panggung. 

Lakon-lakon Ibsen merupakan salah satu dari realisme Barat. A Doll’s House menjadi karyanya yang banyak menuai kontroversi. Konon, naskah-naskahnya mengambil urutan nomer dua sebagai drama yang paling banyak dipentaskan di dunia, setelah lakon-lakon Shakespeare.  

Jika teaterawan menganggap teater realis sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, itu adalah sebuah kepongahan. Demikian pendapat Iswadi. “Saya setuju dengan Socrates bahwa hidup yang tidak bisa direfleksikan, tidak menarik lagi.”

Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki menuturkan rangkaian kegiatan ini sesuai dengan mandat Institut Ungu untuk menggali potensi perenungan kembali isu-isu perempuan melalui seni dan sastra. “Dengan sadar, kami menggunakan seni untuk berpolitik,” jelas Faiza, yang bertindak pula sebagai produser Rumah Boneka. Meskipun demikian, Institut Ungu berusaha tidak mengabaikan unsur estetik. Oleh karena itu, bekerjasama dengan seniman-seniman profesional seperti Wawan Sofwan (sutradara teater) dan para aktor semisal Teuku Rifnu Wikana dan Ayez Kassar, menjadi cara yang ditempuh. “Semoga pertunjukan ini dapat dinikmati, memberikan pengaruh terhadap masyarakat dan estetika pertunjukan,” harap Faiza.

Acara ini diiringi pula dengan peluncuran buku naskah Rumah Boneka, adaptasi Faiza yang diberi kata pangantar oleh Iswadi. Bagi Iswadi buku tersebut kian mengukuhkan Faiza sebagai penulis dengan minat khusus-dan penuh antusias-terhadap isu dan tema-tema relasi gender atau wacana feminisme.

Sementara Marianne Dam Hang, perwakilan Kedutaan Besar Norwegia menuturkan betapa masih relevannya Ibsen sekarang ini dalam transformasi sosial. Problem yang dibawa Ibsen adalah problem universal. Indonesia dan Norwegia sudah sering melakukan kerjasama di bidang kesetaraan gender. Norwegia adalah negara yang paling berkomitmen diantara negara-negara Eropa lain mengenai hak-hak perempuan. Tidak kurang 50 persen dari anggota parlemen Norwegia diduduki kaum perempuan.

Ibsen melakukan refleksi dan refleksi itu menjadikan kita manusia. Membantu perjalanan kita sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan.* (DM)


Comments