Eceng Gondok, Dimana Kuburan Nenek Saya?


Oleh: Dendi Madiya


Melangkahkan kaki melalui Jalan Mawar memasuki wilayah kampung Kapuk Teko RT 01 RW 10, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, di sebelah kiri terpampang sebuah plang bertuliskan Dilarang Membuang Sampah di Areal Pemakaman.

Kegetiran terasa ketika membaca plang dan melihat apa yang disebut areal pemakaman itu. Pemandangan seluas 1 hektar telah dipenuhi eceng gondok, salah satu jenis tumbuhan air mengapung: dimana makam-makam itu berada? Sebelah kanan jalan tertutup dengan seng-seng yang jika diintip melalui lubang-lubang seng itu terdapat lapangan bola dibaliknya. Sebuah lanskap penyambutan menggetarkan sekaligus melambungkan banyak pertanyaan dan keheranan. Lapangan bola eksklusif karena ditutupi seng berhadapan dengan rawa eceng gondok yang menenggelamkan pusara-pusara warga. Keterpecahan ruang hidup antara aset tanah yang harus dijaga ketat dengan kerusakan lingkungan dan kematian manusia.

Siang menjelang sore, anak-anak telah berkumpul. Sebentar lagi pawai keliling kampung segera dilaksanakan. Terlihat spanduk-spanduk dari karton yang mereka genggam. Kapuk Teko Paling Keren... We Love Kapuk Teko, tulis mereka. Ekspresi mereka tampak ceria. Anak perempuan memakai kostum tarian Betawi, yang laki-laki memakai baju koko, peci, celana batik dan sarung yang diikatkan di pinggang. Selebihnya mengenakan pakaian mereka sehari-hari. Beberapa warga dan personel Teater Kubur mengatur anak-anak dalam barisan.

Mereka berjalan melewati pabrik-pabrik, gudang-gudang yang mengelilingi Kapuk Teko, cerobong-cerobong asap, jalan raya, gang-gang sempit diantara dua dinding yang sama-sama keras dan tertutup, serta air yang menggenangi gang. Tembok-tembok yang ikut mengeraskan lingkungan hidup anak-anak, menciptakan dunia sehari-hari yang kurang ramah bagi mereka. Juga bangunan-bangunan pemukiman warga dengan arsitektur yang darurat, dinding-dinding rumah yang bongkar-pasang untuk penyesuaian hidup dengan gejolak alam dan barangkali pula kedatangan atau penambahan warga baru. Serta bahan-bahan kayu yang rata-rata disusun pada lantai atas rumah warga sebagai beranda atau tempat menjemur pakaian.

Anak-anak itu tetap ceria, bernyanyi dengan lirik yang berisi tentang realitas kampung, harapan-harapan, mimpi-mimpi serta tekad untuk memajukan kampung di masa depan.

Kapuk Teko, kampung kita semua, dari dulu sampai sekarang, banyak cerita suka dan dukanya, dari yang lucu sampai yang seram, dari yang seram sampai yang susah, sampai sekarang heyyyyeh, masih ada. Kapuk Teko, ya, Kapuk Teko, mari kita jaga bersama, badan sehat dan sejahtera, hidup aman, nyaman dan damai ... Horeeee!!!

Tapi beberapa kali wajah mereka juga menjadi nanar menatap tempat tinggal mereka yang dipenuhi pula oleh tumpukan karung penghambat serbuan air. Optimisme yang mereka lagukan dengan nyaring itu menghantarkan ironika ketika arak-arakan menghampiri satu-persatu situs lingkungan hidup yang problematis dari Kapuk Teko. Dindon terus mengajak mereka agar tidak berhenti bernyanyi sambil mengumumkan acara malam kesenian yang akan digelar malam nanti. Pada sebuah gang, terlihat anak-anak mengaji di rumah warga. Mereka tidak ikut pawai. Begitu juga beberapa anak yang tidak turut serta dalam rombongan, mereka menyaksikan prosesi keliling kampung dari atas tumpukan-tumpukan karung. Ada gadis cilik yang meminta izin bapaknya untuk berkeliling bersama rombongan marawis tapi sang bapak melarang.


Saat arak-arakan menuju rawa eceng gondok, kelompok marawis itu telah bersiap untuk turut serta mengantar pawai. Sholawat digemakan oleh rombongan marawis sampai di pematang rawa. Warga menertibkan anak-anak untuk berhati-hati supaya tidak tercebur. Lalu kaum ibu bersama tokoh masyarakat seperti Pak RT, Pak RW, menaburkan bunga ke atas hamparan eceng gondok. Barangkali telah lama mereka tidak melakukan ziarah dengan tabur bunga seperti itu. Makam-makam pendahulu beresiko turut menghilang dari ingatan secara perlahan bersama genangan rawa.


Di tengah persoalan kompleks yang terus dihadapi dalam keseharian seperti sampah dan banjir, masyarakat Kapuk Teko membutuhkan kesenian. Jenis seni seperti apakah yang mereka inginkan? Warga sangat merindukan alunan musik Betawi tempo dulu. Kalau bisa mah disediakan gambang untuk warga kami agar bisa bermain tanpa tergantung lagi dengan pihak lain, ungkap Rinan, Ketua RW setempat.


Sebelum rangkaian pergelaran malam kesenian itu dilaksanakan, Dindon WS, pimpinan dan sutradara Teater Kubur, meminta anak-anak untuk bersiap menyuguhkan pementasan drama. Anak-anak itu masih memakai kostum karnaval tadi sore. Dindon menginstruksikan mereka untuk menanggalkan beberapa kostum. Jangan seragam baju koko semua ya, kalau main drama jangan pake peci semua, ada yang kaos oblong, ada yang dibuka bajunya jadi gak harus sama, perintah Dindon sambil menyebutkan bahwa anak-anak itu memiliki bakat-bakat kesenian yang bagus. Ini adalah pertama kalinya mereka berpentas menari dan bermain drama.


Dari lantai 2 sekretariat RW yang sengaja dibuat bolong tanpa jendela pada dindingnya, sebagian lanskap kampung bisa dipandang, sambil merasakan angin laut yang kencang nan-dingin. Beberapa anak Kapuk Teko melihat panggung mereka melalui bolongan ini.


Anak-anak kecil yang kebanyakan perempuan menggelar berbagai tarian Betawi. Tari Sirih Kuning, Lenggang Nyai, Ondel-Ondel, termasuk yang mereka suguhkan dengan gerakan, dandanan, dan kostum yang berbeda. Warna merah, hijau, kuning yang membalut tubuh mereka dengan hiasan bunga-bunga dan untaian rumbai keemasan di kepala menyertai lenggak-lenggok mereka. Tepuk tangan warga membahana usai setiap penampilan tari sambil diikuti teriakkan, Lagi!!! Lagi!!!


Beberapa bagian musik yang mengiringi anak-anak menari itu turut diambil dari khasanah dunia pop, yaitu yang lazim disebut sebagai musik dugem. Jenis musik seperti itu termasuk bagian dari pembendaharaan budaya kehidupan warga Jakarta bersanding dengan genre Dangdut Koplo yang juga terdengar dari rumah-rumah ketika pawai berlangsung tadi sore. Terasa ada semacam keterwakilan dari pahit dan kerasnya kehidupan Jakarta kepada jenis-jenis musik seperti itu yang selalu berdentam kencang lewat perangkat-perangkat sound system sebagaimana tertangkap juga dari angkutan-angkutan umum yang berseliweran di jalan raya.


Adalah sebuah keceriaan dan kebahagiaan bagi masyarakat ketika menyaksikan anak-anak mereka bermain drama dan menari di atas panggung bersahaja yang digelar di lapangan sekretariat RW pada malam kesenian Kapuk Teko. Melihat tingkah laku spontan anak-anak seolah menyurutkan semua genangan di kampung itu. Celoteh anak-anak yang ringan melalui gaya lenongan membangun komunikasi yang cair, akrab dan hangat. Diantara mereka ada yang berperan sebagai Pak RT dengan kumis melintang. Nyanyian sederhana menyambut penonton yang membeludak di depan panggung setinggi kurang lebih 1 meter, panggung yang lazim dipakai pada hajatan pernikahan.


“Penonton ikutan dongkok pada ketawa sih, emang gue pelawak? Semangat semangat


Melalui cara kesenian, Teater Kubur membawa masyarakat Kapuk Teko untuk membicarakan realitas kampung mereka. Judul drama anak-anak Kapuk Teko Kampung Kita, merupakan sebuah ajakan dalam mencermati persoalan kampung dan solusi-solusi yang bisa ditempuh. Rawa eceng gondok serta kodok yang hidup di dalamnya dilihat sebagai sesuatu yang harus dibersihkan dan diusir.


Anak-anak bertanya dalam drama itu, Kodok, dimana kuburan kakek saya? Di sini di sini di bawah sini Eceng gondok, dimana kuburan nenek saya? Di sini di sini di bawah sini Bagaimana kalau kita buang saja kodoknya, kita cabutin eceng gondoknya? Setuju! Kita usir kodoknya! Kita cabut eceng gondoknya! Bagaimana kalau kita buang airnya? Setuju! Kita buang airnya, airnya kita buang!


Segera setelah air menjadi kering, anak-anak itu menemukan kembali makam-makam para pendahulu. Mereka sontak berteriak, Ini kuburan kakek gue nih! Ini kuburan nenek gue nih! Ini kuburan engkong gue nih! Lalu hujan pun turun. Mereka kegirangan sambil bermain mandi hujan. Tapi tidak berlangsung lama karena banjir datang dan airnya semakin dalam. Mereka kembali bernyanyi, Lagi-lagi banjir! Lagi-lagi banjir!


Drama itu terasa merangkum putaran permasalahan yang melingkari Kapuk Teko: air yang menghapus kenangan tentang sejarah kampung adalah banjir-banjir yang selalu datang dan menciptakan rawa-rawa di dalam kampung, rawa-rawa pengundang nyamuk-nyamuk yang membuat ibu-ibu tidak tentram dalam mengasuh dan menjaga bayi-bayinya.


Kampung ini adalah miniatur Jakarta yang tenggelam, ujar Yustiansyah Lesmana, salah satu anggota Teater Kubur yang menjadi bagian dari tim riset dalam kesempatan Diskusi Presentasi Riset Teater Kota yang Tenggelam, Desember 2014. Kampung ini sudah terendam secara permanen selama 22 tahun. Kami punya pertanyaan mendasar yaitu, apa saja yang mereka lakukan selama 22 tahun itu? Dalam banjir permanen itu, kenapa mereka diam saja? Apa sih usaha mereka dalam merubah situasi banjir?


Teater Kubur ditugaskan untuk menelaah problem-problem di Jakarta melalui pokok persoalan pada variasi alasan yang melahirkan kerawanan karamnya Jakarta. Hal tersebut telah dilaksanakan dalam program fase I: pendalaman materi penelitian dan penelusuran lapangan. Untuk tingkat riset aksi-partisipatif dimana kerja penelitian turut melibatkan masyarakat dalam bentuk pertunjukan bersama warga, tim Teater Kubur hilir-mudik ke Kapuk Teko melakukan pelatihan kesenian dari bimbingan bermain drama sampai pengajaran tari.


Tarian-tarian Betawi, drama lenongan, karnaval keliling kampung dengan hentakan rebana, prosesi ziarah kubur dan musik Gambang Kromong merefleksikan pengaruh-pengaruh etnis lain dalam kesenian Betawi, seperti Sunda, Tionghoa, Arab, Portugis, Bali dan Melayu. Sebuah pengingat terhadap ritual para pendahulu. Kegiatan ini telah membuka memori warga tentang kebudayaan nenek moyang, terang Rinan.


Kegiatan Pentas Pendampingan Masyarakat Kapuk Teko diadakan pada tanggal 30 Desember 2014, merupakan bagian dari program yang bertajuk Presentasi Riset Partisipatif Teater dan Warga: KOTA YANG TENGGELAM. Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah pemrakarsa agenda ini.


Tahapan kerja seperti itu ingin menegaskan bahwa teater adalah buah karya observasi dan pantulan dari kenyataan sehari-hari dimana proses kreatif teater perlu melalui jalan yang runut, tertib serta penuh perhitungan yang cermat sejak berangkat dari gagasan hingga pemanggungan. Estetika yang akan dilahirkan adalah estetika yang melekat dengan denyut nafas dan keringat realitas saat makna-makna di balik ruang dan waktu zaman berusaha disingkap. Aktifitas Teater Kubur di Kapuk Teko menyerap interaksi degan warga, mulai dari anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu hingga birokrat, sesepuh, dan tokoh masyarakat setempat. Menghadapi dan berupaya untuk menghayati lingkungan hidup yang genting, diantara pemukiman warga yang padat, kecipak air terinjak kaki dari banjir permanen yang menggenangi habitat manusia dan warga yang merindukan lantunan musik Betawi.


Tanpa sungkan, bersama beberapa warga Kapuk Teko, Dindon dan anggota Teater Kubur seperti Hendra Setiawan, Syam, juga aktor teater Jakarta, Andi Bersama, ikut melantai melakukan ngibing ketika grup Gambang Kromong Kinong Putra pimpinan Bang Andi dari Cisalak beraksi. Lagu-lagu Betawi seperti Jali-Jali, Centeng Manis, Malam Minggu (Nonton Bioskop)tak ketinggalan didendangkan. Bang Radik, staf RW setempat, turut naik panggung menyanyikan lagu Bini Tua dan Kembang Jatoh. Lagu-lagu yang mengandung narasi jenaka tentang kehidupan orang Betawi dan kondisi sosial Jakarta tempo dulu.


Potret yang ada di sini persis dengan kampung saya, demikian identifikasi yang dibuat Dindon, membandingkan Kapuk Teko dengan kediamannya di Kober Kecil, Jatinegara, Jakarta Timur. Kota Jakarta menyimpan banyak kampung di dalamnya, menjadi medan permulaan aktifitas teater dari Dindon ketika kesadarannya terbuka karena bersentuhan dengan masyarakat. Saat itu, kegersangan kesenian melanda Kober sementara para pemuda lebih banyak mabuk-mabukkan. Keterenyuhan hati melihat kondisi itu mendorong Dindon turun tangan melatih warga. Tidak ada niatnya untuk mengarahkan mereka sebagai seniman teater.


Tapi minimal mereka memiliki kesadaran kritis, punya naluri estetik supaya lebih lembut, ungkap Dindon. Begitulah awal Dindon memulai sejarah berdirinya Teater Kubur di kampung kediamannya. Pembinaan keseniaan itu dilakukannya dengan sabar hingga Teater Kubur memasuki usia 31 tahun sekarang ini. Dan akhirnya berhasil kampung saya, sampai sekarang tempat saya dikenal sebagai tempat kesenian, tutur Dindon pada acara Rembug Warga bersama masyarakat Kapuk Teko, pengurus DKJ serta anak-anak yang turut menyaksikan diskusi itu.


Pada 1990-an, Teater Kubur dikenal dengan pertunjukan trilogi besi: Sirkus Anjing, Tombol 13, dan Sandiwara Dol. Dalam buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, Afrizal Malna melihat Teater Kubur telah melahirkan estetika dari tema-tema kaum pinggiran kota tentang kehidupan kota yang bergerak cepat dimana manusia kian terasing dari perubahan yang berlangsung di kotanya sendiri.


Apa yang bisa kita berikan secara konkrit kepada masyarakat? Jangan sampai masyarakat kita ambil sebagai sumber inspirasi belaka tapi kita tidak memberikan apa-apa. Ketika seseorang mencintai kesenian, dia akan mencintai kehidupan. Maka, dia akan mampu bersosialisasi dengan masyarakat, lanjut Dindon.


Strategi Dindon di Kapuk Teko adalah melakukan pelatihan drama dan tari. Pelatihan ini juga diberlakukan untuk kaum Ibu dan Bapak. Mereka diharapkan bisa menularkan kemampuannya nanti kepada warga. Dindon melatih calon-calon pelatih supaya banyak kader-kader pelatih di situ. Anak-anak juga akan terus berlatih. Selama itu belum terwujud, Dindon berjanji akan tetap setia berproses kesenian dengan warga Kapuk Teko. Sebelumnya yang terpenting kita beradaptasi, berempati dan bersinergi dengan masyarakat, jelas teaterawan yang juga pernah melatih beberapa komunitas tuna netra di Bekasi dan Lebak Bulus itu.


Kelanjutan atau ujung pelaksanaan program ini akan memasuki tahap III yaitu pemanggungan dari Teater Kubur sebagai refleksi karya teater dari keseluruhan operasi penelusuran Kota yang Tenggelam pada tahun 2015 ini.


Irawan Karseno, Ketua DKJ, menegaskan kembali tanggung jawab DKJ pada sisi pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kesenian. Mudah-mudahan ini menjadi program yang terus-menerus, tidak sekali jalan lalu menghilang, harap Irawan. Irawan berjanji akan  sekuat tenaga menyampaikan kepada pemerintah dan DPRD tentang permintaan fasilitas perangkat musik gambang yang diminta warga Kapuk Teko. Saya juga punya ide, bagaimana warga dan anak-anak Kapuk Teko menyampaikan persoalan sampah lewat kesenian yang nanti bisa dipentaskan secara lebih besar di Taman Ismail Marzuki dan pemerintah menontonnya.


Meninggalkan Kapuk Teko sambil menatap satu pusara yang tersisa di pinggir areal pemakaman, keheningan rawa eceng gondok menyeruak kembali setelah dipecahkan oleh Gambang Kromong, pawai warga, dan berbagai hidangan acara pada malam itu. Naik kereta turun di Radio Dalam, ini kota yang hampir tenggelam. (Dendi Madiya)

Comments