WAWANCARA DENDI MADIYA DENGAN ISWADI PRATAMA MEMBACA TEATER INDONESIA HARI INI

WAWANCARA DENDI MADIYA DENGAN ISWADI PRATAMA

MEMBACA TEATER INDONESIA HARI INI



DENDI :

Teater modern  Indonesia beruntung memiliki tokoh-tokoh seperti Rendra, Arifin C. Noer, Wahyu Sihombing, Teguh Karya dan Suyatna Anirun. Menurut Anda, apa pengaruh mereka terhadap teater kita hari ini?

ISWADI :

Yang jelas, menurutku, bahwa kalau kita bicara tentang kelompok-kelompok teater modern di Indonesia, kemanapun itu kita pasti bisa merujuk mencapai Rendra pada akhirnya, ke Suyatna Anirun atau Teguh Karya dan tokoh-tokoh lain yang kau sebutkan itu. Artinya bahwa tokoh-tokoh itu kemudian melahirkan generasi-genersi  berikutnya. Itu yang paling penting bahwa peran mereka melahirkan generasi-generasi orang teater yang berikutnya yang kemudian muncul: ada Teater Koma, Teater Ketjil, teater-teater yang lain. Nah, persoalan berikutnya, generasi-generasi yang sekarang ini tampaknya belum semuanya mampu membangun komunitas teaternya sebagaimana tokoh-tokoh  itu membangun kelompok-kelompok teater mereka. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal seperti itu terjadi. Yang paling mendasar adalah faktor ekonomi. Tetapi kalau ditanyakan, adakah pengaruh yang paling besar dari tokoh-tokoh yang kau sebutkan tadi? Pertama melahirkan generasi-generasi  teater yang ada sekarang, kemudian dari kecenderungan estetik yang dipilih. Kita masih bisa melihat bagaimana pengaruh, misalnya, drama-drama Rendra sampai pada generasi yang sekarang.

DENDI :

Seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh tersebut terhadap bentuk, tema dan konsep kerja artistik Anda?

ISWADI :

Kalau saya pribadi barangkali, karena  komunitas yang saya bangun ini muncul dan berkembang di sebuah daerah yang walaupun dekat dengan Jakarta tetapi jarang sekali bersentuhan dengan tokoh-tokoh itu. Artinya, kami tidak terlalu sering bisa menonton pertunjukan-pertunjukan mereka, karya-karya mereka, selain bacaan-bacaan. Artinya pengaruh yang paling besar itu tidak bisa kita lihat tetapi yang paling penting kalau dikaitkan dengan tokoh, saya lebih melihat pengaruh Arifin C. Noer di dalam kecenderungan estetik pada awal saya menjadi sutradara. Yang pertama, yang sangat mempengaruhi adalah bagaimana Arifin senantiasa menghadirkan realitas di atas panggung itu tidak tunggal. Maksudnya kita bisa melihat sesuatu yang getir, yang satir, tetapi juga sesuatu yang romantik dan tragik. Itu menjadi satu kesatuan dalam karya-karya Arifin. Itu yang sangat mempengaruhi kecenderungan estetik saya sampai sekarang. Ada sesuatu yang puitik, juga sesuatu yang banal, yang kasar dan urakan tetapi di dalamnya juga ada sesuatu yang subtil   

DENDI :

Bisa diceritakan proses kerja Anda dalam mewujudkan sebuah pemanggungan?

ISWADI :

Yang pertama, biasanya setiap produksi tidak kurang selalu berproses minimal 3 sampai 4 bulan. Prosesnya saya kira hampir sama dengan teman-teman yang lain: ada diskusi lalu observasi. Terutama yang paling besar mendapat perhatian di kelompok saya tentang studi pemeranan. Itu yang paling banyak menyita waktu, biasanya, dan paling banyak mendapat perhatian disamping aspek-aspek yang lain.

DENDI :

Mengenai pilihan naskah, apakah lebih banyak naskah sendiri atau naskah karya orang lain?

ISWADI :

Sampai saat ini saya kira saya lebih banyak memanggungkan naskah-naskah orang lain. Ada beberapa naskah saya, sekitar tiga atau empat yang saya mainkan tetapi dibandingkan selama saya berkarya sebagai sutradara, ya lebih banyak karya-karya orang lain yang saya mainkan.

DENDI :

Apa yang menjadi kendala dalam proses kreatif Anda?

ISWADI :

Yang menjadi kendala itu terutama, bagaimana selalu meyakinkan kepada teman-teman bahwa proses yang kita lakukan itu adalah proses yang penting, bukan semata-mata mengekspresikan diri tetapi bagaimana kita ikut mewarnai perubahan di tengah masyarakat kita baik dalam konteks sosial, budaya, ataupun dalam konsep artistik itu sendiri. Maksudnya meyakinkan mereka agar mereka bertahan di tengah anggapan-anggapan yang minor, yang pesimistik tentang teater, bagaimana meyakinkan teman-teman untuk bersetia dalam teater tanpa harus mengorbankan kehidupan mereka yang lain. 

DENDI :

Rekan kerja kreatif Anda, rata-rata lingkungan kampus atau darimana ya?

ISWADI :

Cukup beragam. Ada mahasiswa, ada pelajar, ada yang sudah berkeluarga, ada karyawan swasta, ada PNS, tapi mayoritas sudah berkeluarga.

DENDI :

Seperti apa pengaruh kondisi sosial politik terhadap kerja kreatif Anda?

ISWADI :

Kalau secara langsung memang tidak begitu kentara. Maksud saya misalnya, seperti sekarang, nilai apa yang bisa kita tawarkan kepada masyarakat melihat politik sebagai panglima, atau di tengah masyarakat dimana industri budaya pop jauh lebih digandrungi. Jadi, nilai apa yang harus kita tawarkan? Misalnya, di tengah isu rasisme atau perpecahan etnik, masalah toleransi kehidupan beragama sekarang, apa yang bisa kita tawarkan lewat pertunjukan teater tanpa harus terjebak ingin ikut-ikutan menjadi aktual. 

DENDI :

Apa latar belakang memilih naskah VISA karya Goenawan Mohamad?

ISWADI :

Tidak ada latar belakang khusus. Itu hasil dari diskusi dengan Goenawan Mohamad. Artinya kita ada kerjasama, Mas Goen menawarkan teks itu kepada kita lalu kita mencoba mempelajarinya lalu menerimanya untuk kita garap dalam konteks pembukaan Festival Realis di Salihara tempo hari.

DENDI :

Seberapa penting hubungan Anda dengan seniman-seniman di bidang lain ?

ISWADI :

Saya kira antara saya dengan seniman-seniman lain baik itu pelukis, pemusik, sastrawan, saya merasakan ketergantungan dalam hal misalnya wacana, gagasan. Dalam proses kreatif saya, selalu ada teman-teman lain dari bidang lain yang ikut dalam proses itu. 

DENDI :

Apa cita-cita atau harapanAnda bagi teater Indonesia ke depan?

ISWADI :

Saya kira untuk teman-teman teater sekarang adalah penting menemukan satu visi yang kuat, kenapa dia berteater? Artinya harus menemukan visi yang kuat, bukan visi yang dalam pengertian formalitas, tetapi visi yang kemudian menjadi laku dari seluruh kelompoknya kenapa mereka berteater. Mereka harus menemukan itu. Kalau tidak, ya mereka nanti seperti gelembung sabun, muncul, rame, terus bubar. Tetapi itu hak mereka. Tetapi harus selalu ada orang-orang yang dengan visi yang kuat menekuni teater.*** 

 

 

Comments